Perkembangan Nilai Moral (PKN)



Perkembangan Nilai Moral, Kognisi, dan Perilaku Anak Usia Sekolah Dasar (SD)

Perkembangan anak manusia merupakan sesuatu yang kompleks, artinya banyak faktor yang turut berpengaruh dan saling terjalin dalam berlangsungnya proses perkembangan anak. Baik unsur-unsur bawaan maupun unsur-unsur pengalaman yang diperoleh dalam berinteraksi dengan lingkungan sama-sama memberikan kontribusi tertentu terhadap arah dan laju perkembangan anak tersebut.

Guru terutama guru SD diharapkan mempunyai pemahaman konseptual tentang perkembangan dan cara belajar anak di SD. Pemahaman konseptual tersebut meliputi gambaran tentang siapa anak SD, bagaimana mereka berkembangdan bagaimana cara belajar mereka. Dengan bekal pemahaman konseptual tersebut, guru diharapkan dapat mengimplementasikan pemahaman tersebut dalam menyelenggarakan proses pembelajaran yang berorientasi pada perkembangan anak SD.
A. Perkembangan Nilai Moral Anak Usia Sekolah Dasar
Moral berasal dari bahasa latin mores, yang artinya adat istiadat, kebiasaan atau cara hidup. Kata mores mempunyai sinonim mas, moris, manner mores atau manners, morals. Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib hati nurani yang membimbing tingkahlaku batin dalam hidup. Kata moral sarna dengan istilah etika yang berasal dari bahasa Yunani ethos, yaitu suatu kebiasaan adat istiadat. Moral yaitu suatu ajaran-ajaran atau wejangan, patokan-patokan atau kumpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.
Moral selalu mengacu pada baik buruk manusia, sehingga moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari kebaikan manusia. Norma moral dipakai sebagai tolok ukur segi kebaikan manusia. Menurut Magnis Suseno yang dikutip Hendrowibowo; moral adalah sikap hati yang terungkap dalam sikap lahiriah. Moralitas terjadi jika seseorang mengambil sikap yang baik, karena ia sadar akan tanggung jawabnya sebagai manusia. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik sesuai dengan nurani (Hendrowibowo, 2007: 85).
Tingkah laku yang bermoral merupakan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai tata cara/adat yang terdapat dalam kelompok atau masyarakat. Nilai-nilai moral tersebut tidak sama tergantung dari faktor kebudayaan setempat. Nilai moral merupakan sesuatu yang bukan diperoleh dari lahir melainkan dari luar.
1.        Perkembangan Moral Menurut Beberapa Pakar  Usia Sekolah Dasar merupakan tahun-tahun imajinasi atau keajaiban bagi anak.Berikut ini pendapat para ahli tentang perkembangan moral
a. Menurut Piaget, Anak usia 5 tahun masih menilai benar dan salah secara kaku, disebut tahap moralitas heteronomous (heteronomous morality). Pada usia sekitar 11 tahun, proses berpikirnya sudah mulai berkembang sehingga penilaian benar dan salah menjadi relatif.
b. Menurut Kohlberg, Tingkat pertama anak mengikuti semua peraturan yang telah ditentukan dengan harapan dapat mengambil hati orang lain dan dapat diterima dalam kelompok (moralitas anak baik). Tahap kedua, anak menyesuaikan diri pada aturan-aturan yang ada dalam kelompok dan disepakati bersama oleh kelompok tersebut (moralitas konvensional atau moralitas dari aturan-aturan).
2.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi MoralAntara lain :
a. Lingkungan rumah
b. Lingkungan sekolah
c. Teman sebaya dan aktivitas
d. Intelegensi dan jenis kelamin
B. Perkembangan Kognitif Anak Usia Sekolah Dasar
Jean Piaget (1950) menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya (teori perkembangan kognitif). Menurutnya, setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut schemata yaitu sistem konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada dalam lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan proses akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk menafsirkan objek). Kedua proses tersebut jika berlangsung terus menerus akan membuat pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu secara bertahap anak dapat membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku belajar anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek dari dalam dirinya dan lingkungannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak dengan lingkungannya. 
Anak usia sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret. Pada rentang usia sekolah dasar tersebut anak mulai menunjukkan perilaku belajar sebagai berikut: (1) Mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak, (2) Mulai berpikir secara operasional, (3) Mempergunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda, (4) Membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab akibat, dan (5) Memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang, lebar, luas, dan berat.
Memperhatikan tahapan perkembangan berpikir tersebut, kecenderungan belajar anak usia sekolah dasar memiliki tiga ciri, yaitu:
(1) Konkrit. Konkrit mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkrit yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan diotak atik, dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar.  Pemanfaatan lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan. (2) Integratif; Pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke bagian demi bagian. (3) Hierarkis; Pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak belajar berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu diperhatikan mengenai urutan logis, keterkaitan antar materi, dan cakupan keluasan serta kedalaman materi.

C. Perkembangan Perilaku Anak Usia Sekolah Dasar
Seyogyanya anak-anak yang masih duduk sekolah dasar mempunyai tindakan dan perilaku yang masih polos, pemikiran yang berkembang pun masih dalam tahap proses belajar dan belajar dari lingkungannya. Jika lingkungan sekitarnya baik maka ia pun akan menyerap dengan baik pula, namun jika lingkungan di sekitarnya buruk, maka ia kan menyerap dan mencernyanya menjadi buruk pula, jadi bagaimana peran para orang tua dan guru-guru disekolah menjadi filter bagi setiap perkembangan perilaku anak-anaknya.
Mari kita lihat aneka penyebab perilaku kekerasan pada anak dan bagaimana mencegahnya:
1. Ada contoh
Adanya contoh dari anak-anak yang lebih besar, seperti perilaku kekerasan yang dilakukan kakak-kakak SMP / SMU / Mahasiswa, sedikit banyak mendorong perilaku gencet-gencetan di usia SD. Selain itu, budaya kekerasan yang dipertontonkan di televisi sehari-hari, baik dalam acara berita maupun sinetron, juga dapat menginspirasi anak untuk melakukan hal yang sama.
2. Ada kesempatan
Perilaku kekerasan tidak akan terjadi bila hanya ada ide saja namun tanpa adanya kesempatan. Kesempatan itu terbuka manakala kontrol dari pihak otoritas sangat longgar. Kalau itu terjadi di sekolah, maka guru dan pihak sekolah berarti kurang pengawasan. Kalau itu terjadi di luar sekolah, maka kontrol sosial masyarakat yang lemah. Memang, budaya kekerasan ini menjadi tanggung jawab bersama untuk mencegah dan mengatasinya.
3. Terabaikan
intinya, mereka yang menjadi pelaku adalah mereka yang haus akan perhatian alias terabaikan. Selama kebutuhan akan perhatian itu belum tercukupi, maka selama itu pula masih muncul potensi untuk melakukan gencet-gencetan di sekolah.
4. Kurangnya kontrol sekolah
Seperti sudah di jabarkan di atas, sekolah seharusnya tidak menoleransi sama sekali perilaku kekerasan yang dilakukan anak didiknya. Ada beberapa SD yang sudah menerapkan sanksi keras pada perilaku kekerasan. Bila aturan ini diberlakukan secara ketat, maka kecil kemungkinan ada gencet-gencetan di sekolah.
Sebelum terlanjur terjadi, beberapa langkah bisa dilakukan sebagai upaya pencegahan diantaranya:

1. Kontrol bersama
Baik orang tua maupun guru harus sama-sama melakukan kontrol pada perilaku anak. Begitu terlihat ada hal-hal yang mencurigakan pada perilaku anak yang menjadi pelaku maupun korban, orang tua dan guru harus segera mengambil tindakan. Jangan sampai sudah ada kejadian, anak sudah merajalela sebagai pelaku atau “babak belur” sebagai korban, baru semua pihak terperanjat dan melakukan tindakan dan langkah-langkah yang sudah sangat terlambat.
2. Berikan perhatian secara individual
Ini kunci pencegahan yang paling efektif. Tiap anak memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, semua itu tidak bisa menjadi alasan untuk mengabaikannya. Anak-anak yang merasa cukup mendapat perhatian, baik dari orang tua maupun guru, umumnya tidak akan mencari perhatian dalam bentuk lain seperti melakukan tindakan kekerasan pada teman yang dianggap lemah.
Faktor-Faktor yang Mendorong Perkembangan Anak Menyimpang
Ada beberapa faktor yang menjadikan perkembangan anak-anak menyimpang dari yang seharusnya, yaitu faktor keluarga, lingkungan, dan teknologi.
1. Keluarga
Menurut Yusuf Syamsu (2000:37) mengemukakan bahwa : Keluarga memiliki peranan penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Perawatan orangtua yang penuh kasih sayang dan pendidikan nilai tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
Oleh karena itu keluargalah yang menentukan suatu individu menjadi individu yang sehat dari lahir dan batinnya atau tidak. Keluarga merupakan pijakan pertama bagi individu untuk mendapatkan segala aspek nilai-nilai.
Akan tetapi tidak sedikit pula peran keluarga pada perkembangan anak tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaan pribadinya, orangtua tidak memberikan peran aktif kepada anak di dalam keluarga, orangtua kurang memberikan perhatian kepada anak-anak. Hal itu seringkali terjadi di daerah perkotaan yang identik kedua orangtua mempunyai pekerjaan yang terlampau sibuk.
2. Lingkungan
Lingkungan yang baik akan membentuk perilaku yang baik pula terhadap suatu individu begitupun sebaliknya. Lingkungan masyarakat juga sangat membentuk karakter seseorang, karena anak-anak pada usia 12 tahun sering kali bermain di tengah-tengah masyarakat bersama anak-anak lainnya. Jika lingkungan masyarakat di sekitar individu tidak sehat maka perilaku individu tersebut akan mengalami perubahan seperti kondisi di lingkungannya berada.
3. Teknologi
Berjuta informasi tidak terbatas sangat mudah didapat pada masa kini, bahkan anak-anak juga mampu mendapatkan informasi yang menggila itu, semakin canggih teknologi di era globalisasi ini mengubah perkembangan anak, banyak hal-hal negative yang dapat anak turuti dari teknologi seperti informasi tentang seks, atau video dan foto yang berbau fornografi sangat mudah di dapat di internet.
Perilaku Perkembangan Anak yang Menyimpang
Karena faktor-faktor diatas dapat kita lihat dalam kehidupan nyata bahwa perilaku anak usia 12 tahun pada saat ini sudah banyak penyimpangan. Mereka seakan tidak layak menjadi pribadi anak-anak lagi.
Satu kasus anak kelas 6 SD, sudah mengerti akan hal pacaran, banyak diantara mereka yang sudah mempunyai seorang pacar, hal itu benar-benar tidak wajar apalagi seorang anak sudah merasakan patah hati dan menangis gara-gara putus cinta, hal tersebut dapat berdampak negative pada perkembangan psikologis anak, diantaranya yaitu anak akan mengalami stress dan mereka akan berperilaku brutal pada kehidupan sehari-hari. Bisa kita rasakan perbedaan perkembangan anak-anak di era globalisasi ini dengan anak-anak zaman dulu, anak-anak zaman dulu identik belum mengerti akan hal seperti itu, akan tetapi di era globalisasi banyak faktor pendorong untuk menjadikan anak-anak berperilaku seperti itu, faktor yang paling dominan yaitu teknologi, semakin canggih teknologi saat ini, semakin mudah pula budaya-budaya barat yang masuk seakan tanpa filter untuk merusak generasi bangsa ini.
Dalam hal ini Bandura dalam Yusuf (2000:9) mengemukakan bahwa anak-anak belajar melalui observasi atau modeling, terdapat empat proses diantaranya yaitu :
  1. Attentional, yaitu proses dimana anak menaruh perhatian terhadap tingkah laku atau perilaku orang yang diimitasinya.
  2. Retention, yaitu proses yang merajuk kepada upaya anak untuk memasukan informasi tentang segala hal yang ada pada objek yang ditiru anak ke dalam memorinya.
  3. Production, yaitu proses mengontrol tentang bagaimana anak merespon hal yang ditirunya.
  4. Motivational, yaitu proses pemilihan tingkah laku yang diimitasi oleh anak.
Hal ini jelas bahwa anak-anak akan belajar meniru dari apa yang mereka lihat dan mereka ketahui. Setelah mereka tiru mereka akan merespon dan akhirnya mereka mengaplikasikan tiruan mereka pada kehidupan nyata. Yang paling mudah untuk ditiru anak-anak yaitu acara dalam televise, seperti sinetron-sinetron dan film seakan menjadi contoh yang paling mudah untuk ditiru oleh anak-anak. Kasus yang lainnya yaitu anak-anak yang sudah mampu membuka situs fornografi, banyak anak-anak SD yang sudah mampu mengopersikan handphone dan menggunakan fasilitas internet.
Pencegahan Agar Perilaku Anak Tidak Menyimpang
Pencegahan dalam permasalahan perkembangan perilaku anak menyimpang yaitu lebih ditekankan pada keluarga, karena keluarga adalah kelompok pertama yang berkomunikasi dengan anak-anak. Seharusnya perhatian orangtua lebih diperbanyak, karena dengan perhatian saja banyak hal-hal positif yang berpengaruh terhadap perkembangan perilaku anak. Misalnya, anak selalu diperhatikan dan selalu dekat dengan kedua orangtuanya, sehingga anak akan bersikap jujur dan terbuka terhadap orangtuanya, dari hal tersebut orangtua dapat mengontrol perilaku anak, jika dalam sikap anak tersebut sudah terlihat perkembangan perilaku yang menyimpang maka orangtua segera meluruskan perilaku mereka






Komentar