Originalitas Seni (Bahasa Indonesia)


A.    Pengertian Karya seni

Sebelum lebih jauh kita membahas mengenai orisinalitas karya seni, kita harus tahu apa yang dimaksud dengan karya seni.

Dalam bahasa Sanskerta, kata seni disebut juga cilpa. Sebagai kata sifat, cilpa berarti berwarna, dan kata jadiannya su-cilpa berarti dilengkapi dengan bentuk-bentuk yang indah atau dihiasi dengan indah. Sebagai kata benda ia berarti pewarnaan, yang kemudian berkembang menjadi segala macam kekriaan yang artistik. Cilpacastra yang banyak disebut-sebut dalam pelajaran sejarah kesenian, adalah buku atau pedoman bagi para cilpin, yaitu tukang, termasuk di dalamnya apa yang sekarang disebut seniman. Memang dahulu belum ada pembedaan antara seniman dan tukang. Pemahaman seni adalah yang merupakan ekspresi pribadi belum ada dan seni adalah ekspresi keindahan masyarakat yang bersifat kolektif. Yang demikian itu ternyata tidak hanya terdapat di India dan Indonesia saja, juga terdapat di Barat pada masa lampau. Dalam bahasa Latin pada abad pertengahan, ada terdapat istilah-istilah ars, artes, dan artista.

Ars adalah teknik atau craftsmanship, yaitu ketangkasan dan kemahiran dalam mengerjakan sesuatu; adapun artes berarti kelompok orang-orang yang memiliki ketangkasan atau kemahiran; dan artista adalah anggota yang ada di dalam kelompok-kelompok itu. Maka kiranya artista dapat dipersamakan dengan cilpa. Ars inilah yang kemudian berkembang menjadi l'arte (Italia), l'art (Perancis), elarte (Spanyol), dan art (Inggris), dan bersamaan dengan itu isinyapun berkembangan sedikit demi sedikit kearah pengertiannya yang sekarang. Tetapi di Eropa ada juga istilah-istilah yang lain, orang Jerman menyebut seni dengan die Kunst dan orang Belanda dengan Kunst, yang berasal dari akar kata yang lain walaupun dengan pengertian yang sama. (Bahasa Jerman juga mengenal istilah die Art, yang berarti cara, jalan, atau modus, yang juga dapat dikembalikan kepada asal mula pengertian dan kegiatan seni








B.     Orisinalitas karya seni.

Dalam karya seni, orisinalitas sangatlah penting dan bersifat sensitif. Jika ternyata seseorang dikatakan mengutip atau menjiplak karya seni, maka orang tersebut akan berurusan dengan pencipta karya seni, pihak yang berwenang, dan publik. Seni berkaitan erat dengan nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi perasaan manusia akan keindahan yang dilihat dan dinikmati oleh mata maupun didengar oleh telinga. Karena manusia adalah makhluk dengan cita rasa yang tinggi, maka dihasilkanlah kesenian dengan berbagai kreativitas, jenis dan corak mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks. Dewasa ini seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dan kreatifitas manusia.
1.         Seni musik
Dalam musik terdapat peraturan bahwa pengutipan karya musik lebih dari 8 bar (secara partitur), sudah dikatakan penjiplakan. Pengutipan itu bisa berupa kutipan lirik, melodi, ataupun chord dalam lagu tersebut. Sudah ada peraturan yang jelas mengenai penjiplakan tersebut. Agak berbeda dengan karya arsitektur, yang kurang jelas parameter penjiplakannya. Dikatakan sebuah kreativitas muncul akibat melihat dan “menjiplak” karya orang lain, kemudian menambahkan ide pengembangan kita terhadap karya jiplakan tersebut. Jadilah suatu karya. Apakah hal tersebut dikatakan menjiplak, padahal tidak ada parameter penjiplakan?
Seperti di Indonesia, karya musik Indonesia seperti band-band yang banyak bermunculan akibat mengeluarkan satu single mereka. Sebut band X yang jika ditelaah, chord yang mereka gunakan untuk membuat satu lagu ternyata serupa dengan chord Canon in D karya Pachelbel, dari awal lagu hingga selesai. Sebenarnya hal ini dikatakan menjiplak. Kalau karya arsitektur, tidak terlihat secara nyata mengenai penjiplakan tersebut. Sebab, jika developer mengembangkan suatu model perumahan (contohnya), dan ternyata dimintai oleh orang banyak, maka mereka tak segan-segan memasarkan model perumahan yang hampir sama. Padahal hitungannya, model perumahan satu dengan yang lainnya hampir mirip dan kadang dikatakan sama.
Karya musik sangat ketat hukumnya. Jika dilakukan pengopian terhadap album dan disebarluaskan (seperti di glodok, mangga dua, dll) sebenarnya dilarang dan menjadi musuh para pencipta lagu. Namun ternyata karya arsitektur tidak demikian.
Sebenarnya, saya sendiri bingung sampai sebatas apakah parameter karya arsitektur itu? Begitu pula dengan karya musik. Kok sepertinya batas itu masih samar. Menurut saya, jika masih dalam pemelajaran, karya musik maupun karya arsitekur boleh-boleh saya ditiru, namun BUKAN untuk dijiplak. Ditiru, lalu tentunya kita melakukan penambahan, pengurangan, dan pada akhirnya pengembangan dilakukan untuk menjadikan suatu karya yang baru, yang kemudian kita bisa menemukan gaya kita sendiri dan menjadi orisinal kita. Saya rasa, karena hal itulah karya musik dan arsitektur dapat berkembang hingga sekarang. Jika tidak dilakukan peniruan, bagaimana mungkin hal yang serupa dapat ditemukan dalam dunia musik dan arsitektur? Peniruan itulah yang kemudian disebut mencari inspirasi. Hal ini tentu berbeda dengan penjiplakan.
2.      Karya sastra
Sastra merupakan cabang seni yang cukup variatif bentuknya, serta memiliki nilai adaptasi yang tinggi terhadap perubahan zaman dan perkembangan budaya suatu masyarakat. Sebagai sebuah seni, karya sastra merupakan wujud kebebasan berpikir dan kedalaman rasa yang menghasilkan sesuatu yang indah. Sebagai sebuah pembelajaran, karya satra bisa memberikan pencerahan, cakrawala pemikiran, wawasan, kepekaan rasa, pendidikan dan tuntunan hidup. Sebagai bagian dari hiburan, karya satra bisa menjadi media pelepas penat yang mengasyikkan dan menggugah suasana. Sastra Indonesia termasuk bagian dari sastra dunia yang cukup maju, terutama di antara Negara-negara yang berhubungan erat dengan etnik dan kultur Melayu seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Dalam perkembangannya, Sastra Indonesia memang tidak lepas dari peran dan pengaruh perkembangan kesusatraan dan kebudayaan Melayu juga nilai-nilai dan perjalanan historis perjuangan bangsa, sehingga perpaduan unsur kultural dan moralitas hidup dalam karya sastra sangat kental. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya angkatan-angkatan sastrawan dalam kesustraan Indonesia yang mengikuti perkembangan sastra Melayu, perjalanan histories perjuangan bangsa, serta munculnya pengaruh-pengaruh budaya dan moral dalam penyajian sastra, baik dalam gaya bahasa, tema maupun latarnya. Para satrawan di masa perjuangan, tidak saja memiliki sensitivitas dan orisinalitas dalam berkarya, tetapi juga merealisasikan nilai-nilai religi dan budaya dalam karyanya, memiliki kesadaran akan pentingnya perjuangan dan kepedulian terhadap nasib bangsanya secara utuh. Perubahan zaman yang secara otomatis banyak mengubah unsur-unsur budaya, tidak saja menginspirasi dan mempengaruhi secara kebahasaan, tetapi seringkali menjadi dasar penentuan karakter dalam menyajikan karya sastra, baik puisi, cerpen, novel maupun artikel. Para sastrawan atau lebih tepat disebut penulis “diharuskan” memiliki sensitivitas terhadap setiap pegerakan, perubahan dan perkembangan nilai-nilai dalam masyarakat. Dengan kata lain, orisinalitas dalam berkarya akan sangat ideal jika didukung sensitivitas terhadap perubahan sosial cultural dalam masyarakat. Seperti itulah idealnya sebuah karya. Kreativitas ide harus disertai dengan kepekaan terhadap kkondisi lingkungan supaya bisa dinikmati para pecinta sastra sebagai sesuatu yang fresh. Harus diakui bahwa eksistensi karya sastra di zaman ini cenderung “memenuhi” selera pasar, sehingga karya sastra yang dianggap out of date cenderung ditinggalkan para peminat sastra. Misalnya, kaum remaja masa kini. Kecenderungannya, mereka lebih menyukai suatu karya sastra yang simple, jujur, mudah dicerna dan berbudaya “ngepop”, sesuai dengan kondisi zaman yang mereka lalui. Mereka juga lebih menyukai suatu sajian karya sastra yang unik, yang berbeda dengan kebanyakan. Di sinilah kembali pentingnya orisinalitas dan sensitivitas berkarya para penulis dengan menyesuaikan tema tulisan sebagai karya sastra terhadap tema-tema kehidupan sosial remaja. Kondisi seperti itu pula yang mendorong kreativitas para penulis untuk membuat “gebrakan” baru dalam khazanah sastra Indonesia. Munculnya penulis-penulis seperti Habiburrahman El Shirazy, Andrea Hirata, bahkan Raditya Dika seakan-akan memberikan angin segar bagi para penikmat satra itu sendiri, serta mendorong kemunculan penulis-penulis lain untuk meramaikan khazanah sastra Indonesia. Secara ide, para penulis ini memiliki kreativitas yang luar biasa. Seorang El Shirazy misalnya, memiliki ketajaman dan kedalaman pemahaman akan unsur, nilai budaya dan religi tertentu, sehingga mampu melahirkan karya yang sarat tuntunan moral spiritual dan begitu dinikmati oleh banyak kalangan. Andrea Hirata mampu menciptakan ide-ide yang jujur dalam karyanya, sebagai wujud apresiasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya yang kaya secara moral dan cultural. Demikian pula Raditya Dika. Ia menyajikan suatu karya yang lugas, polos, lucu dan jujur, dengan gaya bahasa yang “gaul” dan menyentuh minat baca kaum remaja. Dengan melihat contoh-contoh di atas, orisinalitas dan sensitivitas dalam menyajikan sebuah karya sastra merupakan factor penting. Hal ini tidak saja berkaitan dengan ekspektasi kepopuleran karya tersebut, tetapi juga berhubungan dengan kepuasan si penulis dalam mencurahkan ide dan perasaannya. Oleh karena itu, orisinalitas tidak saja menyangkut ide, tetapi juga berhubungan dengan karakter tulisan yang berimplikasi terhadap cara dan gaya menulis yang akan menjadi cirri khas penulis itu sendiri. Dengan memperhatikan dua factor tersebut, tema-tema global dalam karya sastra seperti novel dan cerpen memang tidak banyak berubah. Tema percintaan, kritik sosial, kekhasan budaya yang berafiliasi terhadap kehidupan sosial masyarakat, religi hingga tema-tema mistis masih banyak ditemukan dalam cerpen atau novel. Akan tetapi, bentuk penyajian dan cara mengemas karya sastra tersebut mengalami pergeseran. Membandingkan karya sastra tahun 70-an dengan karya sastra masa kini tentu banyak perbedaannya. Misalnya, cara bertutur para penulis dalam karyanya, kebebasan mengekspresikan gagasan, dengan tidak terlalu terikat kepada aturan-aturan baku dalam sastra. Melihat pergeseran tersebut, penilaian tiap orang yang menikmati karya satra pasti berbeda. Jika boleh jujur dan tanpa mengeneralisasi, karya-karya satra di masa kini memang lebih cepat popular dan tenggelam. Hal ini dimungkinkan karena banyaknya ragam karya dan penulisnya, sehingga alternative pilihan pun kian banyak. Ada kesan tertentu yang sulit didapat dari kebanyakan karya sastra saat ini, yaitu kesan “ketagihan” dan menunggu karya-karya berikutnya dari si penulis. Opini ini mungkin tidak sepenuhnya benar karena minat baca sendiri bersaing ketat dengan budaya menonton tayangan-tayangan media audiovisual seperti televise dan video. Namun, jika melihat karya novelis Andrea Hirata dan Habiburrahman El Shirazy, rasanya kesan “ketagihan” itu akan muncul kembali. Orisinalitas dan sensitivitas mereka dalam menuliskan gagasannya bisa menyentuh aspek spiritual, humanisme, emosional, edukasi dan tentu saja aspek estetis sebuah karya satra.



Komentar